Langsung ke konten utama

Sekolah Dasar

Tidak terasa saya telah melalui fase pendidikan TK, SD, SMP, SMU, Universitas. 17 tahun mengenyam pendidikan formal..Hmm Tiba-tiba saja saya terlintas dalam benak saya ketika saya masih duduk di sekolah dasar.
Awalnya sangat menyenangkan, karena saya bersekolah di SD Negeri sejak kelas 1. SD Negeri di Bandung yang---yah tidak terlalu banyak peraturan ribet, SD biasa seperti kebanyakan SD lainnya.
Saya sangat senang disana, namun sayang keceriaan itu tidak terlalu lama berlangsung, karena saya harus pindah ke Jogja.
Di Jogja saya disekolahkan di sekolah yang cukup elite. SD yang terkenal dengan prestasinya dan lulusannya banyak masuk ke SMP favorit. Tidak heran banyak orang-orang berada dan kaya menyekolohakan anaknya di sana. Saya sempat kaget dengan biaya SPP tiap bulannya, 32.000 di tahun 1995. Saya bertanya apa tidak terlalu mahal untuk sekolah disini, apalagi pada saat itu orang tua saya juga menyekolahkan adik saya yang hanya berbeda 1 tahun dari saya. Sedangkan ayah saya PNS muda yang gajinya tidak seberapa . Ayah hanya berkata pendidikan itu nomer satu, biar setiap hari makannya tempe, yang penting pintar. Saya pun hanya manut saja :)

Di sekolah saya yang baru banyak perbedaan mencolok yang saya lihat. Gedungnya  jauh berbeda dengan yang dulu. lantainya keramik putih semua, dan sudah memiliki Lab!Jauh berbeda dengan SD saya sebelumnya. 
Jika dulu saya hanya mempunyai 2 jenis seragam yakni merah putih da baju olah raga, sekarang saya memiliki 5 setel seragam dan tiap hari berganti. Saya yang terbiasa ketika istirahat berlari kesana kemari di lapangan dan bermain karet dan jajan di pinggiran, kini ketika istirahat tiba saya harus mengambil air wudhu untuk sholat duha lalu kembali ke kelas duduk manis dan menikamati snack yang disediakan.

Setiap siswa  diwajibkan memakai name tag di bajunya, dan ada pembagian tempat duduk. Perempuan harus duduk dengan perempuan, Di tiap kelas urutan kami duduk pun dibagi menurut kepandaian. anak2 pintar di kelas A, yang biasa-biasa saja di kelas B. Saya masuk di kelas B. Di kelas B urutan bangku pun di atur kembali. Ada B1 (pintar) B2 (sedang) B3 (kurang) dan saya masuk ke kategori B3, yang artinya saya murid yang biasa-biasa saja, tidak terlalu berprestasi dan agak lambat dalam menerima pelajaran. *Mungkin dilihat dari nilai-nilai saya.

Anak-anak yang bersekolah di sana pun berasal dari golongan berada semua. Yah setidaknya hampir semua teman-temanku diantar jemput dengan mobil.Sedangkan  saya diantar oleh ayah saya dengan  motor honda merah tuanya. Itu pun sempit-sempitan karena ayah juga mengantar adik saya sekaligus. Entah kenapa di SD ini saya merasa "dilihat" dengan apa yang saya punya, siapa saya, dan dari golongn mana saya berasal.
Di kelas saya hanya terdapat 32 siswa , dan 10 di antaranta adalah perempuan. Saya pernah dimusuhi satu kelas, tidak ada yang mau berteman dengan saya, bahkan mengajak saya  bicara pun tidak.
Sungguh suasana yang sangata amat tidak menyenangkan. Tidak tahu apa salah saya, kok tiba-tiba saya didiamkan begitu.
Saya sempat berfikir apa mungkin karena gaya saya yang tidak bisa mengikuti mereka? atau merka tahu saya tidak diantar jemput dengn mobil?
hmmm..karena saya tidak mengadu pada siapapun, saya hanya menerima keadaan pwaktu itu, mereka diamkan saya, saya pun diam. Dan jadilah saya menjadi pribadi yang introvert saat itu.

Sampai saat ini, pengalaman 3 tahun di SD itu hal yang sebenarnya tidak ingin saya ingat kembali.
Entah karena sistemnya yang salah, atau saya yang kurang bisa beradaptasi? tapi tetap saja itu menghambat aktivitas sosial saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

cita-citaku

href="file:///C:%5CUsers%5Cjust2dat%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"> Seperti kebanyakn orang, kita mungkin punya cita-cita setelah lulus dari perguruan tinggi. Sebenarnya para orang tua dan guru seringkali mencekoki dengan mengatakan bahwa jika kita tidak mempunyai cita-cita, maka kita tidak akan mencapai apa yang kita inginkan. Memang cita-cita merupakan pendorong yang terbesar. Cita-cita harus memberikan inspirasi kepada kita. Harus mampu membuat kita ingin memanfaatkan hari-hari dengan semaksimal mungkin dan berusaha meraihnya dnegan penuh semangat. Tetapi membaca daftar cita-cita setiap hari bisa membuat kita ketakutan (kata di buku loh). Bagaimana tidak, kalau anda terus diingatkan akan hal-hal yang ingin kita capai padahal jalan yang harus ditempuh masih panjang? HAsilnya, kita mungkin akan putus asa dan berkecil hati. Membuat daftar...

The stay-at hum-mom

Tadi siang saya melihat acara di salah satu stasiun swasta yang membahas tentang bayi. Segala tumbuh kembang bayi dan anak. Mulai dari pijat bayi untuk melatih motorik anak, makanan bayi sehat, training baby languange,sampai cara pemberian ASI yang benar. Acara yang dipandu oleh wanita muda itu mewawancarai  sekumpulan ibu-ibu muda cantik yang datang ke tempat training baby languange tersebut. RAsanya sangat senang melihat raut wajah para ibu tersebut. Mereka semua adalah seorang ibu yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk keluarga, dimana menjadi full time mom adalah pilihannya. Tidak mudah untuk mengambil keputusan tersebut. Di jaman yang serba modern seperti ini dimana berkarier bukan menjadi keharusan karena untuk menambah penghasilan rumah tangga, tapi berkarier sebagai bentuk pencapaian kesuksesan dan aktualisasi diri bagi sebagian orang. Kulihat ibu-ibu muda tersebut cerdas dan benar-benar tulus mengurus bayinya. Di lain waktu saya pernah melihat acara serupa tentang ...

a young teenage

Adikku laki-laki yang pertama sekarang sudah menginjak usia 14 tahun. Perubahan-perubahan sudah mulai nampak pada dirinya, baik fisik maupun secara emosional. Aku pun mulai menyadari bahwa aku tidak bisa meperlakukan adikku sama seperti ia masih SD. Dunianya mulai meluas. Ia tidak hanya terikat dengan suatu lingkungan utama yaitu keluarga tapi juga sudah mulai melepaskan diri dan intens berhubungan dengan teman sebaya dibanding keluarga. Jujur, pada awalnya aku khawatir. Aku takut ia mendapat teman yang tidak benar. Untuk itu setiap akhir pekan saat ia di rumah aku selalu bertanya tentang kehidupan di asramanya. Siapa saja teman-temannya, kegiatan apa saja yang suka mereka lakukan dsb. Tapi mungkin cara bertanyaku salah. Aku bukan bertanya "ingin mengetahui dan tertarik dengan kehidupannya", namun seolah-olah aku bertanya dengan nada interogasi, dan tentu s aja itu yang membuatnya enggan bercerita padaku.. kuamati tingkah lakunya belakangan ini. Ia mulai menyenangi musik, apa...