Meskipun saya belum berumah tangga, tapi ingin sesekali saya mengupas tentang ke rumah-tanggaan di sini.. ho..ho.. Walau sudah mendapat pelajaran ilmu
manajemen, konseling keluarga dan perkawainan, sepertinya menerapkan dilapangan, khususnya ketika berumah tangga memerlukan banyak ketrampilan
dan seni, maklum yang diatur adalah manusia, yang pada dasarnya
masing-masing makhluk yang bernama manusia ini punya sifat yang “unik”
yang berbeda antara satu dan lainnya. Walau kelihatannya sepele,
manajemen rumah tangga membutuhkan kemauan dari kedua belah pihak,
komunikasi dua arah antara suami dan isteri.
Anyway..Pada awal
memasuki rumah tangga, ada baiknya jika pasangan mau membagi tugas, apa yang
menjadi tugas suami, tugas isteri, dan keputusan apa yang harus
didiskusikan berdua, atau bisa diputus sendiri. Ini hal yang terlihat
sepele, namun jika tidak dibicarakan secara tuntas, bisa menimbulkan
kesalah pahaman. Terkadang, perempuan menganggap bahwa pasangan kita
mengerti apa yang kita inginkan, namun siapa sih yang bisa mengerti
keinginan orang lain, kalau tidak diutarakan secara terbuka. Mungkin
saja kita memahami keinginan pasangan, jika kita mengenal pasangan sudah
lama, namun pacaran lama tidak menjamin kita sudah mengenal karakter
suami atau isteri, bahkan terkadang yang terlihat hanya kebaikannya
saja, sehingga saat dijumpai kelemahan pasangan, maka kita bisa
terkaget-kaget.
Lalu, ada baiknya tetap memberikan ruang pada
pasangan untuk menyalurkan hobi, untuk meniti karirnya. Pasangan yang
berkualitas dan bertahan lama, jika masing-masing pasangan punya ruang
untuk tetap membina hubungan sosialisasi, entah dengan sahabat lama,
maupun teman-teman kantor. Hubungan antara pasangan dapat bertahan lama,
jika pasangan dapat menjaga keseimbangan hubungan, kapan bersikap
sebagai kami, dan kapan bersifat sebagai aku atau individu. Pada saat
berstatus sebagai pekerja di perusahaan maka menuntut perasaan sebagai
“aku” karena kinerja tergantung dari kemampuan “aku” ini, dan kemampuan
“aku” ini yang dinilai oleh perusahaan. Contohnya, untuk seseorang yang
berkarir di perusahaan, ada etika untuk menjaga rahasia perusahaan,
maka dia tak bisa menceritakan masalah yang ada di perusahaan bahkan
pada pasangannya sendiri. Di sisi lain, pasangan bisa bersikap sebagai
“kami” saat melakukan kunjungan kekeluargaan ataupun sosialisasi di
masyarakat.
Sawitri S.S. (Kompas, 22 Nop 2010),
menjelaskan, pada satu sisi kita ingin menjadi individu yang terpisah,
berdiri sendiri, artinya menjadi seseorang yang mampu memperoleh
kepuasan atas upaya diri sendiri, tetapi di sisi lain kita mencari
keterikatan dan keintiman dengan orang lain, seperti halnya perasaan
memiliki dan dimiliki dalam ikatan perkawinan, keluarga, atau kelompok.
Hal yang perlu kita cermati adalah apabila pasangan perkawinan berada
dalam rentang ketidakseimbangan perpisahan dan kebersamaan, maka
pasangan tersebut menghadapi masalah yang cukup serius.
Teman saya menggambarkan, perkawinan
yang langgeng adalah jika masing-masing pasangan berbahagia, masih punya
ruang untuk diri sendiri, dan merasakan kebersamaan bersama keluarga.
Taken from many sources (kompas, edratna (2010) Manajemen rumah tangga, curhatan teman,dll)
Komentar
Posting Komentar